Sunday, April 26, 2015
Kisah Dua Beg Kain
Alkisah, ada seorang yang sangat bahagia dan tenang di dalam
hidupnya. Orang tersebut mempunyai dua beg kain. Pada beg kain yang satu
terdapat lubang di bawahnya, tapi pada beg kain yang satu lagi tidak terdapat
lubang.
Segala sesuatu yang menyakitkan yang pernah didengarnya
seperti makian & sindiran, ditulisnya di sebuah kertas, digulung kecil,
kemudian dimasukkannya ke dalam beg kain yang berlubang.
Tetapi semua yang indah, benar, dan bermanfaat, ditulisnya
di sebuah kertas kemudian dimasukkannya ke dalam beg kain yang tidak ada
lubangnya.
Pada malam hari, ia mengeluarkan semua yang ada di dalam beg
kain yang tidak berlubang, membacanya, dan menikmati hal-hal indah yang sudah
diperolehnya sepanjang hari itu. Dan dia mengucap syukur berulang kali atas
kasih sayang dan kebahagiaan yang telah Tuhan anugerahkan kepadanya.
Kemudian ia mengeluarkan isi dari beg kain yangberlubang, tetapi
ia tidak menjumpai apa-apa pun. Maka ia pun tertawa dan tetap bersukacita kerana
tidak ada sesuatu yang dapat merosak hati dan jiwanya.
Sahabat ... Itulah yang seharusnya kita lakukan. Menyimpan
semua yang baik di “beg kain yang tidak berlubang”, sehingga tiada satupun yang
baik hilang dari hidup kita.
Sebaliknya, simpanlah semua yang buruk di “beg kain yang
berlubang”. Maka yang buruk itu akan jatuh dan tidak perlu kita ingat lagi.
Namun sayang sekali ... masih ramai orang yang melakukan perkara
sebaliknya!
Mereka menyimpan semua yang baik di “beg kain yang
berlubang”, dan apa yang tidak baik di “beg kain yang tidak berlubang” (seperti
memelihara fikiran-fikiran jahat dan segala sesuatu yang menyakitkan hati).
Maka, jiwanya menjadi tertekan dan tidak ada ghairah dalam menjalani hidup.
Oleh kerana itu, agar mampu menikmati kehidupan yang bahagia
dan tenang, elak menyimpan apa yang tidak baik di dalam hidup kita (Tahukah
Anda: sakit hati, iri hati, dendam, dan kemarahan juga mampu menyebabkan
penyakit serius bahkan kematian?).
Mari mencuba, menyimpan hanya yang baik dan bermanfaat buat
kita semua. Semoga hidup kita sentiasa Sejahtera Bahagia Kaya!
Saturday, April 25, 2015
Kisah Dua Gelas
Aku sebuah gelas yang mewah dengan ukiran motif yang elegan.
Orang-orang yang ingin memilikiku harus rela menukarku dengan wang yang
cukup besar. Betapa senangnya menjadi sepertiku, ye itulah pikiran yang
terlintas saat itu.
Sampai suatu saat aku dibawa oleh seorang wanita cantik yang
terkenal. Kemudian ia meletakkanku di dalam sebuah almari kaca yang indah, aku
berpikir itu adalah tempat terindah dan layak untuk gelas sepertiku.
Aku berada di istanaku, begitu aku menyebut bufet kaca itu selama
beberapa tahun.
Tahun-tahun pertama aku merasa bagaikan berada di atas
angin, setiap rekanan bisnis maupun kerabat-kerabat dekat sang wanita yang
datang berkunjung selalu memujiku.
Tahun berikutnya mulai terasa membosankan. Aku sering melihat
gelas-gelas lain yang menurutku tidak seindah aku dipakai untuk mejamu tamu.
Mereka diisi dengan berbagai jenis minuman yang panas maupun dingin. Aku
berpikir untuk tidak mau seperti mereka, pasti tubuhku akan rosak, aku akan
bahagia selamanya berada di sini.
Dan di tahun-tahun berikutnya aku benar-benar merasa ada
yang kurang. Aku merasa kosong, aku tidak lagi gembira ketika mendapat pujian
dan tatapan kagum. Aku juga tidak tahu mengapa aku merasa demikian.
Sampai suatu saat ada seseorang yang mengeluarkan aku dari
istanaku, dia membawaku ke sebuah tempat yang akhirnya aku ketahui adalah
dapur. Kemudian aku diletakkan di atas meja makan dan aku dikejutkan ketika aku
menoleh untuk melihat sekeliling oleh sebuah gelas lain di sebelahku.
Aku melihat ngeri padanya, bagaimana tidak, tubuhnya penuh
dengan goresan dan warna yang memudar. Dengan hati-hati aku bertanya padanya
mengenai keadaannya. Dan ia menjawab dengan lembut.
"Nak, dulu aku sepertimu, yah tentunya tidak seindah
dirimu" ia tersenyum lalu melanjutkan ceritanya. "Aku hanya gelas
biasa dengan ukiran sederhana yang dipamir di bahagian belakang kedai yang
menjualku. Aku merasa sedih dan mengeluh pada penciptaku kenapa ia membuat
diriku hanya seperti ini, dan aku menganggap diriku hanya sebuah karya yang
gagal kerana tidak ada yang mau memilihku".
"Sampai suatu hari sang wanita pemilik kita ini,
menggenggamku dan membawaku dengan senyuman di wajahnya. Saat itu aku merasa
semua pemikiranku salah. Betapa gembiranya aku, dan aku berpikir bahwa wanita
ini akan menjadikanku hiasan di rumahnya. Namun, kenyataan membuat aku kecewa,
aku tidak diletakkan di dalam amari kaca tempatmu berada dan malahan
dimasukkan ke dalam ruangan kerjanya.
"Kau tahu nak, terkadang aku merasa sakit ketika air
panas mengisi tubuhku. Aku menggigil ketika bongkahan ais batu menimpaku. Aku
harus mencium berbagai aroma minuman seperti teh, kopi, dan masih banyak lagi
yang bercampur aduk membuatku mual"
"Bahkan aku hampir histeria ketika menemukan tubuhku
penuh dengan noda-noda yang tidak dapat hilang meskipun sudah digosok
berkali-kali dan saat dibersihkan itu menjadi saat menyakitkan bagiku, itulah
saat dimana tubuhku harus bersentuhan dengan alat pembersih yang terkadang
tajam."
Lalu ia melanjutkan, sementara pikiranku perlahan-lahan
dibuka dengan hal-hal baru.
"Sering aku merasa kesepian nak, setelah dibersihkan
aku diletakkan kembali di tempatku, di atas meja kerja sang wanita yang setiap
hari pula aku tinggal di dalam gelapnya ruangan itu. Aku merasa iri hati dengan
gelas-gelas sepertimu yang tidak harus mengalami semua ini"
"Tahun awal begitu menyiksa tetapi seiring waktu
berlalu aku terbiasa dengan semuanya, bahkan aku menemukan sebuah hal yang
tidak akan pernah aku sesali yaitu rasa puas dan sukacita yang besar ketika
sang wanita dapat menikmati minumannya melalui aku, gelas yang sederhana ini dan
di saat itu aku ingin sekali mengucapkan terima kasih pada penciptaku karena
telah menghasilkan karya yang tidak gagal dan berhasil memenuhi tujuan
penciptaku"
Ketika ia mengakhiri kalimatnya, aku menangis sepuas-puasnya.
Menangis kerana sedar betapa sombongnya aku. Menangis kerana menemukan alasan
mengapa aku merasa hampa, dan menyedari sesungguhnya aku diciptakan bukan
sebagai gelas hiasan melainkan gelas biasa , hanya dengan ukiran yang indah yang
dilengkapi dengan tujuan dari mulanya untuk membantu manusia memuaskan
dahaganya.
Pelajaran?
Sahabat, proses pembentukkan dari Tuhan memang terkadang
menyakitkan, terutama saat Dia mengikis keinginan ego kita. Namun, ketika
dengan iman kita tetap taat dan setia melangkah bersamaNya, perlahan Tuhan akan
menyedarkan kita bahwa jalan yang kita sedang dilalui adalah jalan menuju penyempurnaan
tujuanNya untuk hidup saya dan anda.
Thursday, April 16, 2015
Erti Hidup
Ada seorang pemuda yang sedang berjalan- jalan ditepi hutan
untuk mencari udara segar, ketika dia sedang berjalan-jalan, tiba -tiba
terdengarlah bunyi ngauman suara harimau …
Auuuummmm … !!!
Seekor harimau yang sedang lapar Dan mencari mangsa untuk mengisi
perutnya. Tiba-tiba tanpa disedari oleh pemuda tersebut.. harimau itu sudah
berada dihadapan pemuda itu. Disebabkan terlalu takutkan harimau itu, dia pun
berlari dan sejauh yang termampu.
Harimau yang sedang lapar itu sudah tentu tidak akan melepaskan
dia pergi begitu sahaja , harimau itu pun mengejar pemuda tadi . Ditengah
kepanikkan itu, pemuda tadi sempat berdoa agar diselamatkan dari terkaman
harimau itu dan dia amat bersyukur kerana doanya dikabulkan.
Dalam keadaan dia sedang berlari dia terpandang sebuah
perigi tua, terlintas difikirannya untuk melompat ke dalam perigi itu, kerana
harimau pasti tidak akan mengejarnya dan ikut lompat sama ke dalam perigi
tersebut.
Amat bernasib baiklah pemuda itu kerana ditengah-tengah
perigi itu ada tali yang menjulur ke bawah, jadi pemuda tadi tidak perlu
melompat yang mungkin akan menyebabkan kakinya patah disebabkan dalamnya perigi
tersebut. Namun, tali itu pendek Dan tak termampu untuk dia menjejakkan kaki
kedasar perigi tersebut dan akhirnya dia bergayutlah ditengah-tengah perigi itu.
Ketika pemuda itu sedang bergayut , pemuda itu mengangkat
mukanya keatas. Ternyata harimau tadi masih menunggunya dibibir perigi itu. Dan
ketika dia menunduk kebawah, terdengar suara kacukan air yang ganas, setelah
diamati ternyata Ada 2 ekor buaya yang ganas yang berusaha menggapai badannya.
Pemuda itu mengeluhhh ...
Ya Tuhan apakah yang harus aku lakukan? Di atasku harimau
sedang menunggu, dibawah buaya bersiap-sedia menerkamku. Ketika pemuda itu
sedang memikirkan cara untuk keluar dari perigi itu, tiba-tiba di celah-celah
perigi itu terdapat lobang kecil dan tanpa di jangka oleh pemuda itu maka
keluarlah seekor tikus putih … ciiit … ciiit ... ciit … yang naik meniti tali
pemuda tadi.
Dia menggigit tali pemuda tadi. Belum sempat pemuda itu terjaga
dari terkejutnya dia akan hal itu pada masa yang sama dari lobang itu juga
muncul lagi seekor tikus hitam yang melakukan hal sama seperti tikus putih tadi
menggigit tali yang diguna oleh pemuda itu untuk begayut.
Ooohhhh … jika tali ini putus, habislah riwayatku dimakan
buaya! Cemas dia berfikir. Jika aku naik keatas, sudah pasti harimau menerkamku. Jika menunggu
disini, tali ini akan putus dan buaya dibawah ini telah lama bersiap sedia
untuk menjamahku.
Saat itulah dia mendengar deruan serombongan lebah yang
sedang mengangkut madu untuk dibawa kesarang mereka. Dia mendongakkan wajahnya
keatas. Dan tanpa disangka-sangka jatuhlah setitis madu dari lebah itu dan
kebetulan jatuh tepat dalam mulut pemuda itu.
Spontan pemuda tadi berkata…
Alangkah manisnya madu Ini, baru kali ini aku merasakan madu
semanis dan selazat ini! Dia lupa akan ancaman buaya dan harimau tadi.
Tahukah anda, intipati dari cerita diatas secara analoginya,
pemuda tadi adalah kita semua 'manusia', harimau yang mengejar adalah maut kita,
ajal memang selalu mengejar kita. Jadi ingatlah akan mati. Dua ekor buaya
adalah diumpamakan sebagai malaikat Munkar Dan Nakir yang menunggu kita di alam
kubur. Tali tempat pemuda bergayut adalah umur kita. Tikus putih dan tikus
hitam adalah dunia kita siang dan juga malam yang sentiasa mengikis umur kita.
Diibaratkan cerita tikus tadi yang menggigit tali pemuda
itulah siang dan malam . Madu setitis yang jatuh itu adalah nikmat dunia yang
hanya sebentar. Bayangkan madu setitis tadi masuk ke mulut pemuda itu, dia
terlupa akan ancaman harimau dan buaya yang sedang menunggunya, begitulah kita ketika kita menerima nikmat sedikit. Kita lupa
kepada Tuhan. Ketika susah baru ingat kepada Tuhan.
Monday, April 13, 2015
Lidah dan Hati
Pada suatu hari, Luqman disuruh oleh tuannya menyembelih
seekor kambing. Tuannya meminta Luqman mengeluarkan 2 keping daging yang sangat
besar khasiatnya. Setelah Luqman al-Hakim menyembelih seekor kambing, beliau
mengeluarkan lidah dan hati kambing tersebut. Beliau memasak dan menghidangkan
untuk tuannya.
Pada suatu hari yang lain, tuannya menyuruh Luqman sekali
lagi menyembelih seekor kambing. Kali ini dia menyuruh Luqman mengeluarkan dua
keping daging yang paling menjijikkan. Sekali lagi Luqman yang bijaksana itu
pun mengeluarkan lidah dan hati kambing. Beliau memasak dan menghidangkan
kepada tuannya.
Tuannya berasa hairan dengan perbuatan Luqman itu, lalu dia
memanggil dan bertanya kepada Luqman: "Wahai Luqman, bila saya meminta
engkau mengeluarkan2 keping daging yang paling baik, engkau mengeluarkan lidah
dan hati.
Sekarang ini saya meminta engkau mengeluarkan dua keping daging yang paling menjijikkan, engkau mengeluarkan lidah dan hati nya juga. Bolehkah engkau terangkan apa maksudmu??"
Sekarang ini saya meminta engkau mengeluarkan dua keping daging yang paling menjijikkan, engkau mengeluarkan lidah dan hati nya juga. Bolehkah engkau terangkan apa maksudmu??"
Luqman al-Hakim menjawab: "Wahai tuan, memang lidah dan
hati itu adalah dua bahagian yang paling baik jika seseorang itu pandai
memeliharanya. Akan tetapi jika seseorang itu tidak pandai memelihara dan
mengawalnya, maka kedua-duanya boleh membinasakan dirinya.
Hati dapat menimbukan niat yang ikhlas dan baik. Ia boleh
menimbulkan niat yang buruk dan jahat, curang dan dengki. Lidah pula boleh
menuturkan kata-kata yang baik dan manis. Ia juga boleh memberi pengajaran
kepada manusia.
Siapa Sebenarnya Kita
Sebelum memulakan seminar, Prof.Ibrahim mengeluarkan sehelai
wang kertas bernilai RM100 dari dompetnya. Kemudian wang itu ditayangkan kepada
50 orang pesertanya.
"Siapa nak duit ni?" tanya Prof Ibrahim..
Semua peserta mengangkat tangan.
"Saya akan berikan duit ini kepada salah seorang
daripada kamu, tapi izinkan saya membuat sesuatu dahulu ". Prof Ibrahim
meramas-ramas duit itu hingga renyuk.
Kemudian dia menunjukkan duit yang sudah renyuk itu dan
bertanya: "Ada sesiapa yang nak duit ini lagi?"
Hampir semua pesertanya mengangkat tangan. Prof Ibrahim
mengangguk dan mencebikkan bibir.
"Okey apa kata kalau saya buat macam ni?"
Duit RM100 itu dicampakkan dan di tenyeh-tenyeh dengan
kasutnya..
Prof Ibrahim memungutnya semula lalu diletakkan di atas
meja. Wang kertas itu bukan sahaja renyuk tetapi juga kotor.
"Sekarang siapa nak duit ni?" tanya Prof Ibrahim.
Selesai dia bertanya, lebih separuh daripada jumlah
pesertanya masih mengangkat tangan.
"Okay, apa yang boleh kita kutip daripada peristiwa itu
tadi?" tanya Prof. Ibrahim lagi.
Pesertanya hanya diam, dan sesetengahnya hanya menggelengkan
kepala. Mereka masih tidak dapat menangkap apa yang cuba disampaikan oleh Prof
Ibrahim.
"Walau apapun yang saya lakukan pada duit ini, kamu
tetap akan mahukannya. Betul tak? Kamu tahu kenapa? Kerana nilainya tidak
berubah walaupun dipijak dan ditenyeh dengan kasut."
"RM100 tetap RM100 walaupun 10 kali dipijak." kata
Prof.Ibrahim. Semua peserta yang mendengar kata-katanya hanya tersenyum.
Prof Ibrahim mengaitkan peristiwa itu dengan kehidupan
seharian. Sering kali di dalam hidup,setiap orang akan merasai kejatuhan, hati
hancur, ataupun dihina. Hinggakan suatu ketika kita akan merasa diri kita tidak
berguna langsung.
"Tetapi walau apapun yang telah terjadi, ataupun yang
akan terjadi, anda tidak akan hilang harga diri. Bersih atau kotor, renyuk atau
licin, anda tetap berharga terutama pada mereka yang disayangi."
"Harga diri kita bukan datang daripada apa yang kita
lakukan atau siapa yang kita kenal tapi siapa sebenarya kita?"jelas Prof
Ibrahim.
Semua peserta ternganga mendengar penerangan profesor itu
dan mereka lantas mengiyakan kebenaran kata-kata profesor itu...
Pelajaran ...
Harga diri kita bukan datang daripada apa yang kita lakukan
atau siapa yang kita kenal tapi siapa sebenarya diri kita.
Sunday, April 5, 2015
How a Password Changed My Life
I was having a great morning until I sat down in front of my
office computer. “Your password has expired,” a server message flashed on my
screen, with instructions for changing it.
Coming up with a new code doesn't seem like a big deal, unless you work at my company, where we have to change it monthly, using at least one uppercase character, one lowercase character, one symbol, and one numeral.
Oh, and the whole darn thing can’t be fewer than eight characters. And I can’t use any of the same passwords I've used in the past three months.
Coming up with a new code doesn't seem like a big deal, unless you work at my company, where we have to change it monthly, using at least one uppercase character, one lowercase character, one symbol, and one numeral.
Oh, and the whole darn thing can’t be fewer than eight characters. And I can’t use any of the same passwords I've used in the past three months.
Suddenly I was furious. What didn't make it any better was
that I was deeply depressed after my recent problem. Disbelief over what it had
done to me was all I thought about. Every day.
That didn't mean anything to the empty input field with a
pulsating cursor, waiting for me to type a password that I’d have to re-enter—many
times—for the next 30 days. I remembered a tip I’d heard from my former boss.
He’d said, “I’m going to use a password to change my life.”
I couldn't focus on getting things done in my current mood.
There were clear indicators of what I needed to do to regain control of my
life, but I couldn't heed them.
My password became the indicator. My password reminded me
that I shouldn't let myself be a victim of my recent problem and that I was
strong enough to do something about it.
I made my password Forgive@It.
I had to type this statement several times a day. Each time
my computer would lock. Each time my screen saver would appear. Each time I
would come back from eating lunch alone. In my mind, I wrote Forgive The Problem
every day.
The simple action changed the way I looked at my problem.
That constant reminder of reconciliation led me to accept the way things had
happened at the end of my day and embrace a new way of dealing with my
depression. As the month wore on, I felt a slow healing begin to take place. By
the time my server prompted me to reset my password the following month, I felt
free.
One month later, my dear Exchange server asked me yet again
to reset my password. I thought about the next thing that I had to get done.
My password became Readbook@month.
I read a book a month.
This password was a painful one to type during that month,
but doing it helped me to yell at myself in my mind as I typed that statement.
It motivated me to follow my monthly goal.
One month later, my password became Save4trip@Dunedin.
Guess where I went three months later: Dunedin.
Seeing how these reminders helped to materialize my goals
kept me motivated and excited. While it’s sometimes difficult to come up with
your next goal, keeping at it brings great results.
Lesson learned? With the simple repetition of unlocking the computer,
we will be able to make incredible things happen. Thanks to this method.
My latest password?
Life@Change - Life is gonna change again soon.
Thursday, April 2, 2015
I am Sorry
Once there was a man who had 3 daughters and was a single
parent to his children.
One morning he asked his oldest daughter, Sonia, to do the
breakfast dishes before going to school. Not realizing that she was already
running late and facing too many tardy notices, he was stunned by her reaction.
She burst into profuse tears.
Again, misinterpreting the motive behind the outburst,
assuming that she was merely trying to get out of an unpleasant chore, he
demanded that she dry her tears and get back to work immediately. She
reluctantly obeyed him, but her anger could be clearly heard in the careless
clanking of the dishes in the sink, she turned back to her father and stared
sullenly out the window.
Usually the man use to take advantage of the uninterrupted
time to spend with his children while driving them to school by teaching poetry
or religious verses. However that morning there was no songs- only deathly,
stubborn silence. The man dropped his daughter, mumbled a good bye and moved to
office.
He tried to work but couldn’t concentrate all he could see
was his daughter’s scared, tear-stained face as she hesitantly climbed out of
the car to face her teachers and classmates. The man began to realize that his
timing had gone wrong and with the passage of the day he began to feel
remorseful.
So he decided to say SORRY to his daughter and couldn’t wait
till suppertime to apologize. So he took permission from the school to take his
daughter for lunch and was astonished to see the surprise on her face.
He led her by her arm through the corridor and as the doors
banged behind them, he turned towards his daughter and said, “Sonia I am sorry.
I am so very sorry! It’s not that I shouldn't have asked you to help out at
home, but I had no right on it this morning without any previous warning.
I upset you at a time when you most needed my love and
support- just before you went to school. And I let you go without saying ‘I
love you’. I was wrong. Please forgive me.”
Sonia put her arms around her father’s neck and hugged him
and said “Oh, Dad, of course I forgive you. I love you too.”
The power of these restorative words, “I am Sorry!” is such
that they heal relationships – between us and our friends and loved ones, and
between us and God.
A Pound of Butter
There was a farmer who sold a pound of butter to the baker.
One day the baker decided to weigh the butter to see if he was getting a pound
and he found that he was not. This angered him and he took the farmer to court.
The judge asked the farmer if he was using any measure. The
farmer replied, amour Honor, I am primitive. I don't have a proper measure, but
I do have a scale." The judge asked, "Then how do you weigh the
butter?"
The farmer replied "Your Honor, long before the baker
started buying butter from me, I have been buying a pound loaf of bread from
him. Every day when the baker brings the bread, I put it on the scale and give
him the same weight in butter. If anyone is to be blamed, it is the
baker."
What is the moral of the story?
We get back in life what we give to others. Whenever you
take an action, ask yourself this question: Am I giving fair value for the
wages or money I hope to make? Honesty and dishonesty become a habit.
Some people practice dishonesty and can lie with a straight
face. Others lie so much that they don't even know what the truth is anymore.
But who are they deceiving?
A Meal with an Amazing Waiter
Fresh out of university, I got a short-term job with a
touring theatre company. The terms were ridiculous: $300 for a month’s work
away from home, to be paid at the end of that month. Only one meal a day would
be provided; for the rest, we were on our own.
We depended on cheap food from convenience stores that could
be stored and prepared in a hotel room. Did you know that you can cook maggi
mee in a coffeepot? I also learned that you can eat sardine in the can without cooking
them and that you can live on cream crackers.
The first of our venues was a lovely, sprawling resort. I
don’t know what had happened between the staff and the previous theater
company, but we could sense the bad feeling when we arrived. The wait staff
despised us from the start.
They withheld utensils from us at dinner, while our
one-meal-for-the-day cooled. The owner invited our company to eat dinner in the
restaurant because we were far from home, but the staff refused to let us in.
It was ugly.
When we arrived at the second venue, our first order of
business was to re-block the show for the new stage. While we practiced, I saw
in my peripheral vision a table being set. I panicked. It was midday—which meant
that they were serving us lunch. Sandwiches were better than maggi mee and
cream crackers, but getting lunch would mean no hot dinner. We really counted
on that being our hot meal of the day.
We were called over to eat. The table was beautifully set,
with a linen cloth and origami-folded napkins. The sandwiches were elaborate
and generous, along with heaps of potato chips and pitchers of cold drinks. It
was so nicely done. How could we complain in the face of it? Afterward, I took
the headwaiter aside and expressed our preference for our one meal to be
dinner.
Our dinner would be at six, he told me. He added that the
“one meal a day” clause in our contract was nonsense and that for the entire
run of the show, the venue would be giving us lunch and dinner daily.
We returned at six, grateful and nervous because this still
seemed too good to be true. Our table was downstairs, away from the audience
but set as beautifully as an audience table. We sat down to table linens and
folded napkins again, and because it was dinner, we had multiple forks for
courses and side plates for salad.
We were served by a cheerful waiter who sang to us. He
refilled our water glasses, took orders for coffee, and even brought us
dessert. At the end, we tried to bus our plates to the kitchen. We felt that it
was only fair—after all, we were staff too.
But that caused a minor scuffle. The wait staff said that we
didn’t have to do that; we insisted that we must. We relented when the
headwaiter explained, “This is enjoyable for us only if you let us do it
right.”
That was more than 20 years ago, and I still get teary over
the memory. We were so hungry and tired and so tense from the meanness of the
staff at the first venue. The new waiters were joyful, and they took such pride
and pleasure in their work.
Since then, I’ve tried to live like them: Enjoy work by
doing it right. Be generous. Fold those metaphorical napkins into pretty birds;
sing while you serve, and treat those who have nothing to give you as well as
you would treat a paying customer.
Subscribe to:
Posts (Atom)