Tuesday, January 21, 2020
Memahami Syariat dan Hakikat
Islam
adalah satu-satunya agama yang mampu merangkul seluruh manusia, bahkan
memberikan, keselamatan, kesejahteraan bagi siapa saja, tanpa
memandang sekat dan pangkat rekayasa budaya – sosial masyarakat. Pun, Islam mampu
mengelaborasi dua nilai penting dalam perjalanan hidup diri manusia, yaitu
nilai syariat dan nilai hakikat.
Perlu kita pahami, bahwa kisah perjalanan Nabi Musa dan Nabi
Khidlir alaihima salam yang terekam di dalam Al-Quran adalah pelajaran dari
Tuhan kepada manusia tentang dua nilai yang sesungguhnya menjadi kesatuan dalam
diri manusia. Keduanya patut diupayakan oleh manusia sebagai khalifah dan
hamba.
Kisah tersebut bukan dalam rangka dipertentangkan atau
diperbandingkan manakah yang lebih benar. Apa yang dilakukan oleh Nabi Musa
adalah benar karena tugas manusia sebagai khalifah, bahwa apa yang menjadi
keputusan Nabi Khidlir untuk membunuh seorang anak, menenggelamkan perahu dan
menolak hak upah dari upaya mendirikan rumah. Adalah tidak tepat jika kemampuan
manusia sebagai khalifah tidak diupayakan sebagaimana mestinya.
Maka, apa yang dibantah oleh Nabi Musa adalah sebab manusia,
baik secara individu maupun sosial, harus terlebih dahulu menjiwai dan
menghidupkan nilai syariat di dalam dirinya.
Kemudian, apa yang dilakukan oleh Nabi Khidlir adalah
kemampuan interaksi khusus manusia sebagai hamba dengan Tuhan. Maka, kebijakan
tersebut tidak bisa dijadikan acuan umum sebuah masyarakat tertentu. Itulah
nilai hakikat, ia akan lahir dari dalam diri manusia kalau sudah mampu
menghayati dan melampaui nilai syariat.
Kehidupan sehari – hari manusia, sesungguhnya selalu terkait
dengan nilai keduanya. Manusia harus belajar, manusia harus bekerja, manusia
harus makan, manusia harus minum, manusia harus tidur, dan aktivitas alamiah
lainnya adalah implementasi dari nilai syariat.
Syariat adalah sebuah jalan yang Allah sediakan untuk menuju
pintu – pintu rahmat Tuhan, artinya manusia harus mau berjalan dan menempuh
perjalanan, mengalami proses. Syariat adalah apa yang Allah taklifkan
(bebankan) kepada manusia dan menjadi keharusan, bahkan kebutuhan, sebelum
manusia memasuki nilai hakikat dirinya.
Hakikat adalah pintu yang Allah bukakan bagi manusia yang
mau melampaui perjalanan dan mengalami proses. Allah tidak membebankan pintu
itu kepada seluruh manusia, karena Allah Maha Rahman, Maha Rahim, Dia sudah
merasa bungah dan menghargai setiap manusia yang mau berjalan, walaupun belum
atau bahkan tidak pernah sampai ke pintu.
Belajar itu syariat, pintar itu hakikat. Manusia harus
mengupayakan dirinya untuk terus belajar, sebab yang kelak manusia
pertanggungjawabkan di hadapan Allah adalah apakah manusia mau belajar, bukan
apakah manusia sudah pintar. Bekerja itu syariat, kaya itu hakikat. Manusia
harus menjiwai dirinya untuk sungguh–sungguh bekerja, sebab yang kelak manusia
pertanggungjawabkan di hadapan Allah adalah apakah manusia mau bekerja, bukan
apakah manusia sudah kaya.
Menanam itu syariat, memanen itu hakikat. Manusia harus
membiasakan dirinya untuk menanam, sebab yang kelak manusia pertanggungjawabkan
adalah apakah manusia mau menanam dan menyiram, bukan apakah manusia sudah
memanen.
Syariat adalah mendayagunakan kesempatan, kemauan dan
kemampuan berjalan sesungguh, setangguh dan sebaik mungkin menuju kemungkinan
dan kepastian rahmat Tuhan.
Hakikat adalah titik temu terdekat dengan kemungkinan dan
kepastian rahmat Tuhan. Tuhan Maha Menghargai dan Menghormati kepada manusia
yang mau menghargai dan menghormati dirinya sendiri, mau berjuang menemukan
dirinya, mau bersungguh–sungguh menempuh perjalanan dirinya. Sebab, jiwa yang
tidak tumbuh sebagai pejalan, diduga ia sedang tersesat. Sama halnya dengan
manusia yang butuh menjadi pintar, namun ia tidak mau belajar.
Bukankah itu
adalah ketersesatan?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment